Rabu, 25 Januari 2012


Satriana
bertemu wakil presiden
*Oleh: Sekar Arrum Nuswantari*
Hari itu Sabtu, satu-satunya hari di mana ada pelajaran PKn. Materi yang akan saya bahas adalah organisasi. Kali ini yang akan diperkenalkan adalah organisasi seko-lah. Dalam struktur organisasi sekolah, terdapat kepala sekolah, komite sekolah, guru-guru kelas, guru mata pelajaran, guru honorer, sampai penjaga sekolah. Untuk lebih memperdalam pemahaman materi, sekaligus melatih kemampuan berbtcara murid-murid, saya memberikan tugas wawancara. Mereka harus mewawancarai orang-orang yang masuk ke dalam struktur tersebut, mengenai defi-nisi organisasi sekolah dan tugas mereka masing-masing.
Saya bertanya, "Kenapa kalian harus bisa me­wawancarai orang, Anak-Anak?"  Seperti biasa, semua mengacung dan menjawab sesuka hatinya. "Kalian harus berani mewawancarai orang karena jika kalian sudah besar, dan kalian bertemu dengan bupati, gubernur, wakil presiden, atau presiden sekalipun, kalian bisa." Begitu kete-ranganku. Dan, secara tak terduga, muridku Irfan mengang-kat tangannya dan menyeletuk, "Ah, tidak bisa, Bu. Kamu mungkin ketemu mereka, kami tidak. Kamu dekat, kami jauh."
Deg. Saya benar-benar terkesiap. Memoriku sontak mem-bawaku ke beberapa bulan lalu, pada masa pelatihan Indo­nesia Mengajar di Ciawi, Bogor. Di Sana, sering kali Pak Anies berbicara tentang jarak itu. Masyarakat yang dekat de­ngan pusat kemajuan, katakanlah masyarakat Pulau Jawa, memandang Sulawesi Barat hanya sejauh dua jam perjalan-an dengan pesawat. Namun, Pulau Jawa di mata masyara­kat Sulawesi Barat adalah suatu tempat di antah berantah. Sungguh jauh. Apalagi bertemu dengan Wakil Presiden, membayangkan saja tidak.
Angin segar itu berembus ketika saya sedang rapat de­ngan bupati Majene, Kalma Katta. Beiiau berkata bahwa Wakil Presiden akan hadir di Majene untuk peresmian salah satu universitas di Majene. Beiiau mengundang Pengajar Muda untuk menghadiri pertemuan itu. Tanpa pikir panjang saya meminta izin beiiau untuk membawa murid saya turut serta. Karena ini adalah pertemuan dengan Wakil Presiden, saya hanya diizinkan untuk membawa satu orang murid. Satu orang dari sekian banyak anak SD yang ada di Majene. Satu-satunya anak SD di Sulawesi Barat yang akan hadir di pertemuan nanti.
Sesungguhnya saya ingin membawa semua murid untuk bertemu Bapak Boediono, Wakil Presiden Republik Indonesia. Namun, saya hanya boleh membawa satu orang. Akhir-nya, saya memutuskan membuat suatu kontes membuat su­rat yang ditujukan untuk pemimpin negeri ini. Murid-murid sangat antusias ketika saya menanyakan siapa dari mereka yang ingin diajak bertemu dengan Wakil Presiden. Oleh ka­rena itu, mereka juga sangat antusias menulis surat untuk Wakil Presiden.
Surat dari mereka lucu-lucu. Semuanya menampilkan ke-luguan anak-anak SD. Ada surat yang isinya berterima kasih karena dapat bertemu dengan Waki! Presiden. Ada surat yang meminta Wakil Presiden untuk mendirikan perpustakaan desa dan koperasi sekolah karena pada jam pekjaran ba-nyak anak yang menangis karena pulpennya direbut murid laki-laki. Ada surat yang memintaku untuk ditempatkan di SD 39 Manyamba selama dua tahun. Bahkan, ada yang me­minta kepada Pak Boediono untuk selalu memperjuangkan pendidikan. Namun, ada satu surat yang berisi kurang lebih seperti ini.
Assalamualaikum Wr. Wb.
Apa kabar, Pak? Saya harap Bapak baik-baik saja. Terima kasih, ya, Pak sudah mau datang ke Majerte.
Pak, saya ucapkan selamat kepada Bapak karena Bapak telah berhasil menjadi wakil presiden. Waktu kecil Bapak pasti bercita-cita menjadi wakil presiden, dan sekarang sudah terwujud. Saya juga bercita-cita jadi dokter, Pak. Doakan agar saya bisa jadi dokter, ya, Pak.
Pak, saat ini kejahatan sedang merajalela. Saya harap Bapak berhati-hati.
Sehan surat dari saya, saya ucapkan Wassalamualaikum Wr.Wb.
Dari Satriana, kelas 5 SDN 39 Manyamba.

Karena surat itu, Satriana kupilih untuk bertemu dengan Wakil Presiden pada 19 Februari 2011. Kami berangkat sore hari pada Jumat, 18 Februari 2011 untuk bermalam di Majene. Acara temu Wakil Presiden ber-bngsung pada pagi hari sehingga sulit bagi kami untuk tu-run gunung dan datang tepat waktu pada acara tersebut jika tidak bermalam di Majene. Satriana tampak cukup senang di perjalanan. la sangat excited. Pagi harinya ia bangun dan mandi paling pagi. Pukul 9.00 kami pergi ke SMA 2 Majene, tempat diseleng-garakannya acara dialog umum dengan Wakil Presiden. Peng-amanannya cukup ketat. Di sepanjang jalan banyak polisi dan Satpol PP. Di dalam SMA 2, banyak Pasparapres dengan seragam hitam mereka. Bahkan, kami harus melewati pintu deteksi logam seperti di bandara dan melewati pemeriksaan. Yang datang tanpa undangan, jangan harap bisa masuk. Banyak acara sambutan. Dari gubernur, bupati, profesor yang universitasnya akan diresmikan, sampai Wakil Presiden sendiri. Setelah acara sambutan usai, tiba sesi tanya-jawab. Semua pemangku kepentingan pendidikan diizinkan untuk bertanya. Berhubung di sana hadir pula Menteri Pendidikan, M. Nuh, semua keluh kesah tentang pendidikan dapat lang-sung didengar olehnya. Perwakilan SMA, SMK, dan Aliyah. Perwakilan mahasiswa. Sampai perwakilan guru diberi ke-sempatan untuk bertanya. Pada akhir sesi, kesempatan di-berikan kepada Indonesia Mengajar. Saya pun maju untuk memberikan pertanyaan. "Pertanyaan yang akan saya ajukan, diawali dari sebuah cerita singkat, Pak." Kemudian, saya pun bercerita tentang tugas wawancara sampai pada terpilihnya salah seorang mu­rid untuk saya bawa ke acara tersebut. "Alhamdulillah, saya berhasil membawa murid saya hari ini, Pak. Satriana, to-long berdiri, Sayang." Dengan malu-malu, Satriana berdiri di kursinya di belakang sana. "Satriana juga membawa kenang-kenangan berisi suratnya dan surat teman-temannya, Pak. Yang sangat ingin ia berikan untuk Bapak."
Tanpa direncanakan, Wakil Presiden dan audience me-minta Satriana untuk maju ke depan bersamaku. Wajahnya pucat. Ia gugup dan raalu berada di khalayak ramai, apalagi ada seorang wakil presiden di antaranya. "Jarak yang asal-nya dianggap begitu nyata, ternyata sekarang jarak itu tidak begitu jauh lagi setelah Satriana dapat hadir di sini bertemu dengan Bapak. Pertanyaan saya adalah apa langkah Peme-rintah untuk mendekatkan pusat kemajuan terutama di bi~ dang pendidikan dengan anak-anak di daerah terpencii, se-perti Satriana dan teman-temannya?" Usai memberikan pertanyaan tersebut, saya bersiap kembali ke tempat duduk. Namun, tanpa disangka-sangka, Wakil Presiden sendiri yang meminta kami untuk maju. Ia ingin bertemu langsung dengan murid saya dan menerima kenang-kenangan yang ia bawa. Sungguh saya sangat terha-ru. Bersama-sama kami melangkah ke podium. Di sana, di hadapan Wakil Presiden, Satriana memberikan suratnya dan bersalaman dengan Wakil Presiden. Wakil Presiden membe­rikan nasihat kepada Satriana untuk terus giat belajar dan jangan putus sekolah agar cita-citanya menjadi dokter terca-pal. Wakil Presiden juga berkata, "Kamu akan menjadi orang besar, Nak." Kemudian, ia mencium kening Satriana. Decak kagum dan jepretan kamera terdengar di mana-rnana.
Setelah bersalaman dengan Wakil Presiden, kami pun kembali ke tempat duduk kami. Banyak pertanyaan dari war-tawan, ucapan selamat dan ajakan foto di kanan-kiri kami. Namun, semua itu tak terdengar oleh Satriana. Saya yakin, yang ada dalam hatinya adalah rasa bangga dan syukur. Bah-wa dirinya seorang anak SD dari pelosok tanah air, satu-sa-tunya di Sulawesi Barat, yang sampai saat ini dapat bertatap muka langsung dengan wakil presiden Indonesia.
(Terima kasih Pak Bupati telah mengundang dan meng-izinkan kami bertemu dengan Wakil Presiden, terima kasih muridku Irfan H. karena telah melontarkan pernyaraan yang menyentil sehingga saya membuat kontes menulis surat, te­rima kasih Fauzan atas ide pertanyaan yang begitu cemer-lang. Dan terima kasih paling tinggi, kepada Allah Swt., yang melancarkan semuanya.) "


INDONESIA MENGAJAR

 Terimakasih Buat Para Indonesia Mengajar Khususnya Buat Sekar Arrum Nuswantari telah membesarkan Jiwa Satriana. jangan bosan dengan MAJENE (^_^)